Aminatuz Zuhriyah 5 C PGMI

Jumat, 25 Desember 2015

Jurnal Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia


SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
(Telaah Kritis Dinamika Pendidikan Islam)
Oleh. Ach. Syaikhu1
ABTSRAK
Sejarah Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang
membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk
menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati
sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi
kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan
negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap
peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan
kamil) Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan
Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan
peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat,
seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin AsSumatrani,
dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karyakarya
besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian
Islam.
 Key Word: sejarah, pendidikan Islam, tokoh

Pendahuluan
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad
ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah
dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah
berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis
dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama
tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat
lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke
Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam
masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M.
2Namun yang pasti,

1 Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember
2A Mustofa Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 23JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
120
hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang
mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.3
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat
melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan
tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung
proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan
pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat
kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan
agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer
Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan
dan pengajaran tentang moral.4
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam
di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama
dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan
Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal
berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistem pendidikan
formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas tentang pusat
pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah
bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan
Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian
Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.
Pendidikan Islam
Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
“Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh,
mendidik, memelihara.5 Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara
pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya.6
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya

3
. Taufik Abdullah, Ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 54
4 Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 20
5
Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 25
6 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001),4Ach. Syaikhu, Sejarah Pendidikan Islam
121
ke arah kedewasaan.7 HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis
mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik
sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan
menumbuhkan kemampuan dasar manusia.8
 Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.9
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan
merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga
masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan
semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta
berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa
dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan
yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan
terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun
orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.10
 Dengan demikian,
pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap
perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah
terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Aceh
a. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia
yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.11 Berdasarkan
kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang
berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
1. Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7
M, dan langsung dari Arab.
2. Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir
Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.

7 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1992),11
8 HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 22
9 UU Sisdiknas No. 20, 2003
10 Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 25
11Taufik Abdullah, Ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 4JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
122
3. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia
ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan
secara damai.
Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan
membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa
Indonesia.12 Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India,
dari Persia, atau dari Arab.13
Dan jalur yang digunakan adalah:
a) Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran
b) Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama
para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi
pengembara.
c) Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh
dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya
inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d. Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi
pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
d) Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam
terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam,
apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke
daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi
pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam
perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat
besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga
Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam
mudah berkembang di Aceh, yaitu:
a) Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur
Tengah dan Tiongkok.
b) Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak
begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara
Palembang dan Aceh cukup jauh.14
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus,
memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di
seluruh Indonesia.
15

12 Taufik Abdullah, Ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 5
13 Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 10-11
14 A Mustofa Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 53Ach. Syaikhu, Sejarah Pendidikan Islam
123
antara lain:
a) Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya,
bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan
untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah
syahadat saja.
b) Sedikit tugas dan kewajiban Islam
c) Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit
demi sedikit.
d) Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e) Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami
umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa
perdagangan terjadi karena beberapa sebab 16 yaitu:
a) Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
b) Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara
bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di
pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan
dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting
dalam bidang politik dan diplomatik.
c) Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh
dalam peperangan.
d) Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke
berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal
tulisan.
e) Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting
bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti
sholat.
f) Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada
Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam
pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim
setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
g) Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari
berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar
di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama
utama dan mayoritas negeri ini.

15 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), 19-20
16 Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 20-21JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
124
b. Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra
Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik
Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang
terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).17
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan
Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim
dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai
waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola
hidup yang sederhana.18 Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik
kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai
berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh
mazhab Syafi’I.
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan
halaqoh.
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
Biaya pendidikan bersumber dari negara.19 Pada zaman kerajaan
Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka
pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan
Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat
kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang
berpendidikan”.20
 Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M,
sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak
berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah
menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada
para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang
di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah
dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para
murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah
lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2. Kerajaan Perlak

17 A Mustofa Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 54
18 Zauharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), 135
19 Zauharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), 136
20 M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: CV. Tumaritis,
1991), 61Ach. Syaikhu, Sejarah Pendidikan Islam
125
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya
yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai
dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai
menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak
sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh
Hindu.21
 Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam
Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang
diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu
bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan
filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah
ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10
M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin
Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal
sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang
ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi
dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga
mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.22
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah
berjalan cukup baik.
a) Kerajaan Aceh Darussalam.
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan
kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di
belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja
dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk
teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah
Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki
(wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang
penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah
masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang
memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.
23
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali
pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar

21 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), 29
22 A Mustofa Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 54
23 M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: CV. Tumaritis, 1991),
75JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
126
atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi
antara lain:
a) Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b) Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis
dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan
sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
a) Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
b) Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di
bulan puasa.
c) Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d) Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau
bulan puasa
e) Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota
kampung.
f) Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
g) Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang
segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan
mengetahui arah kiblat sholat.24
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di
Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan
kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata
bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat
Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat
pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu
itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah
yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut
yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil
mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah
seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap
mukim.25
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar
menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang
bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:

24 M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: CV. Tumaritis,
1991), 76
25 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001),32Ach. Syaikhu, Sejarah Pendidikan Islam
127
1) Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat
berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk
membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2) Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas
mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3) Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat
para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas
persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan
sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak
orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh
Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan
dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki.
Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai
negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini
mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu
pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama.
Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh
menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan
pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad
Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar
ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam
bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang
mengajar logika.26
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan
Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru
agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah.
Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab AlAsyikin,
dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia
menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau
lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah
Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang
ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan
pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin
Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab

26 M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: CV. Tumaritis,
1991), 88.JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
128
mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab
yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan
berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat
beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul
Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17
daars (fakultas).
 Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh,
serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan
Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh
pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah
seorang Islam.27
PENUTUP
Pendidikan merupakan suatu proses belajar engajar yang
membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali,
memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai
yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan
perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta
didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil)
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh,
tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama
serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh
pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin
A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh
sebagai pusat pengkajian Islam.

27 M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: CV. Tumaritis, 1991),
89Ach. Syaikhu, Sejarah Pendidikan Islam
129
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ed. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali,
1983.
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Gunawan, Ary H, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ibrahim, M, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV.
Tumaritis, 1991.
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk
Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1992
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Standar Nasional Pendidikan (NSP), Jakarta:
Asa Mandiri, 2006
Sunanto, Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005
Tafsir, Ahmad, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, Bandung:
Pustaka, 1986
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993
Zauharini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000.JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
130

Translation Tugas Mata Kuliah TI Aminatuz Zuhriyah D77213056

Fa in h}a>jju>ka fa qul aslamtu wajhiya li Allahi wa man it-Taba’ani, wa qul li al-Ladzi>na u>tu> al-Kita>ba wa al-Ummiyyi>na aaslamtum, fa in aslamu> faqodi ihtadaw, wa in tawallaw fa innama> ‘alaika al-Bala>ghu, wa al-Allahu bashi>run bi al-‘Ibadi. 

Data Administrasi Sekolah Tugas TI Aminatuz Zuhriyah D77213056

https://drive.google.com/open?id=1FdLiwQffu_aYQMJ0ELjjfbHSJ-z6fsgy4fZCD8Ye8_A

Jumat, 11 Desember 2015

Sejarah Pondok Q

SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
TAMBAKBERAS JOMBANG

A.      PENDAHULUAN
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur yang hingga saat ini masih survive di tengah kecenderungan kuat system pendidikan formal. Dengan kultur dan kesederhanaan yang mandiri serta dekat dengan masyarakat. Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang terus melakukan pengembangan dan perubahan seiring dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan dan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Salah satu upaya yang telah dilakukan di tengah kecenderungan kuat system pendidikan formal, Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang hingga saat ini telah mendirikan 18 unit pendidikan mulai pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi. Di samping itu Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang juga menjalin kerja sama dalam bidang pendidikan dengan perguruan tinggi dalam dan luar negeri, di antaranya adalah ; Makkah, Syiria dan Al-Azhar Kairo.
Secara structural Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Yayasan ini berdiri sejak tahun 1966 melalui Akte Notaris NO.03 Tanggal 6 September 1966 di hadapan Notaris Soembono Tjiptiwidjojo dahulu wakil notaris di Mojokerto.

B.       LOKASI DAN SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
1.      Lokasi
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur, tepatnya kurang lebih 3 km. sebelah utara kota Jombang. Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang secara keseluruhan menempati area tanah seluas kurang lebih 10 hektar.

2.      Sejarah Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang
Generasi I (Era Rintisan)
Sekitar tahun 1825 Masehi di sebuah daerah yang tak jauh dari pusat keramaian kota Jombang, tepatnya di Dusun Gedang datanglah seorang ulama’ pendekar atau pendekar ulama’ bernama Abdussalam, dikatakan bahwa beliau adalah salah satu dari sekian prajurit yang berperang melawan penjajah bersama Pangeran Dipenogoro. Beliau juga adalah keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, dengan silsilah sebagai berikut : Abdussalam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Abdurrohman (Jaka Tingkir).
Kedatangan Abdussalam ke desa ini merupakan pembuka daerah tersebut yang semula masih hutan belantara ± 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar untuk dibabatnya dan dijadikan perkampungan yang dihuni oleh manusia, setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan mulailah ia membuat gubuk ia berda’wah yaitu sebuah pesantren kecil terdiri dari sebuah langgar dan bangunan tempat tinggal sederhana. Dan pondok pesantren tersebut terkenal dengan sebutan Pondok Nyelawe (red jawa) atau Telu(red jawa) ini menjadi istilah masyarakat setempat karna jumlah santri yang hanya 25 orang dan 3 lokal beserta musholanya, hal ini terjadi pada tahun ± 1838.
Abdussalam bukan hanya berdakwah dengan melakukan pengajaran saja,tapi sebagaiman lazimnya ulama’ pada masa itu, beliau juga dibekali dengan ilmu kanuragan, ilmu kekebalan, ilmu meramu jampi-jampi dan ilmu pengobatan. Hingga saat ini di depan Kantor Pondok Induk Bahrul ‘Ulum masih terdapat lumping, yakni sebuah batu besar yang digunakan Abdussalam untuk menumbuk ramuan-ramuan. Tentang ilmu kanuragannya, Abdussalam pernah membuktikannya ketika seorang penjajah Belanda datang bersama kudanya tanpa sopan santun menghadap kepada beliau, tanpa kompromi beliau menghentaknya hingga penjajah Belanda itu dan kudanya mati seketika, saat itulah beliau juga dikenal dengan nama Mbah Shoihah (Arab ; hentakan). Nama Mbah Shoihah ini lebih dikenal dari pada nama beliau sendiri.
Mbah Shoihah beristrikan wanita dari Demak bernama Muslimah, dari hasil pernikahannya ini mereka dikaruniai beberapa putra dan putri yaitu : Layyinah, Fathimah, Abu Bakar, Marfu’ah, Jama’ah, Muthohharoh,Ali, Ma’un, Fatawi dan Abu Syakur.

Generasi II (Klasifikasi Keilmuan)
Mbah Shoihah seperi yang telah disebutkan di atas mempunyai dua puluh lima santri, lazimnya lagi dulu seorang kyai kerap menjodohkan putrinya kepada santri-satrinya yang dianggap mempunyai ilmu yang lebih tinggi dibanding santri yang lainnya. Ada dua santri yang dianggap Mbah Shoihah mampu meneruskan perjuangannya yakni ‘Utsman dan Sa’id. ‘Utsman dijodohkan dengan putri pertama yang bernama Layyinah dan Sa’id dijodohkan dengan putri yang kedua yakni Fathimah.
Kyai ‘Utsman dan Nyai Layyinah dikaruniai seorang putri bernama Halimah yang di kemudian hari namanya dirubah menjadi Winih, setelah menginjak remaja Winih dinikahkan seorang pemuda dari Demak yang bernama Asy’ari. Dari garis Asy’ari inilah lahir  Hadhrotus SyaiKH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Rois Akbar Nahdhotul ‘Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, lahir pula KH.. Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama RI yang pertama) dan KH. Abdurrohman Wahid (Presiden RI ke-4). Pada pengembangannya Kyai ‘Utsman terlebih dahulu meminta izin kepada mertuanya untuk mengembangkan pondoknya di Gedang Timur (sebelah timur Gedung Serba Guna Hasbulloh Sa’id). Penekanan Kyai ‘Utsman dalam membimbing santrinya lebih menitik beratkan masalah thoriqot/tashowwuf sehingga pondok Kyai ‘Utsman ini dikenal dengan Pondok Thoriqot.
Sedangkan Kyai Sa’id dan Nyai Fathimah dikaruniai empat orang anak yakni: Kasmnah, Hasbulloh (sebelum haji bernama Kasbi), Syafi’i (sebelum haji bernama Kasdu) dan ‘Ashim (sebelum haji bernama Kasmo). Dari jalur kyai Sa’id inilah yang menurunkan generasi-generasi pembesar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang selanjutnya. Potensi yang dikembangkan Kyai Sa’id berpusat di Gedang Barat banyak berisikan ilmu-ilmu syari’at sehingga pondok Kyai Sa’id ini dikenal dengan Pondok Syari’at.
Perbedaan klasifikasi keilmuan ini bagi mereka bukanlah suatu ajang perlombaan untuk menentukan mana yang terbaik di antara mereka, tetapi kedua pondok ini (Pondok Thoriqot dan Pondok Syari’at) dapat berjalan beriringan dengan memberikan dukungan dalam berbagai hal demi kemajuan masing-masing.

Generasi III (Munculnya Dusun Tambakberas)
Setelah Kyai ‘Utsman wafat, Pondok Thoriqot tidak ada yang meneruskan karena Kyai ‘Utsman tidak mempunyai anak laki-laki, sedangkan Kyai Asy’ari (menantu Kyai ‘Utsman) membawa sebagian santrinya yakni ke Desa Keras yang nantinya menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Tebuireng dan yang sebagiannya lagi diasuh oleh Kyai Hasbulloh (putra kedua Kyai Sa’id).
Hasbulloh muda sadar bahwa ia berada pada situasi dan kondisi yang saat itu masih sangat jarang sekali ‘ulama, maka Hasbulloh muda membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu seperti ; ilmu kalam, ilmu fiqh dan ilmu kanuragan. Sehingga pada saat Kyai Habulloh sangat disegani oleh orang lain bahkan pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Kyai Hasbulloh juga terkenal sebagai kyai yang kaya raya, mempunyai tanah pertanian yang sangat luas sehingga dengan mudahnya beliau membangun pondok dan masjid tanpa menerima sumbangan apapun dari orang lain. Saat itu gudang beras Kyai Hasbulloh sampai-sampai tidak tersedia tempat lagi untuk dijadikan tempat penyimpanan. Saat itulah Dusun itu mulai dinamai Dusun Tambakberas karena melimpahnya stok beras Kyai Hasbulloh yang mengalir terus bagaikan tambak.
Perjuangan Kyai Hasbulloh dalam membangun pondoknya ditemani seorang wanita yang bernama Nyai Lathifah (asalnya A’isyah) yang berasal dari Desa Tawangsari, Sidoarjo. Pernikahan Kyai Hasbulloh dan Nyai Lathifah ini dikaruniai putra dan putri yakni ; Abdul Wahab, Abdul Hamid, KH.odijah (istri KH. Bishri Syamsuri), Abdurrohim, Fathimah (istri KH. Hasyim Idris), Sholihah, Zuhriyyah dan Aminatur Rohiyyah.
Kyai Hasbulloh juga menyadari betul bahwa untuk kelanjutan pondok yang diasuhnya harus ada regenerasi, oleh sebab itu Kyai Hasbulloh mempunyai inisiatif untuk mengirim saluruh putra-putrinya untuk belajar agama, bahkan yang tertua Abdul Wahab pernah dikirim ke luar negeri (Makkah) beberapa tahun. Sang istri Nyai Lathifah pun tidak tinggal diam, beliau juga ikut membantu perkembangan pondok dengan mengikutsertakan para santri putri. Tanpa dirasa Tiga generasi sudah dilalui Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

Generasi IV (Era Pembaharuan)
1.      Era Pembaharuan Pertama
Pada tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hasbulloh (putra tertua Kyai Hasbulloh) kembali dari tugas belajarnya di tanah suci Makkah, setelah kembali beliau mulai melakukan banyak terobosan-terobosan dalam system pendidikan di pondok ayahnya, beliau mengubah system pendidikan halaqoh menjadi system pendididkan madrasah. Pembaharuan yang dilakuakan KH. Abdul Wahab Hasbulloh ini banyak mendapat tentangan keras dari ayahnya sampai-sampai KH. Abdul Wahab Hasbulloh pernah ketika mengajar diusir ayahnya sambil melemparinya dengan batu, karena menurut ayahnya cara yang dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh menyerupai penjajah Belanda. Karena pengajaran dengan system ini tidak direstui oleh ayahnya maka KH. Abdul Wahab Hasbulloh memindah pengajiannya ke Dusun Brangkulon, tetapi tak lama kemudian KH. Abdul Wahab Hasbulloh diizinkan kembali untuk mengajar dengan system madrasah.
Dengan system ini Pondok Pesantren Tambakberas berkembang dengan pesat dan pada tahun 1915 KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan madrasah yang pertama (yang sekarang ditempati Gedung Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang). Madrasah tersebut diberi nama Madrasah Mubdil Fan.
Tahun 1920 Kyai Hasbulloh wafat, maka pondok pesantren ini dilanjutkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbulloh dengan dibantu adiknya yang kebetulan juga baru pulang dari studinya di tanah suci, yakni KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh. Dalam management pengelolaannya KH. Abdul Wahab Hasbulloh selaku pengasuh utama menyerahkan urusan pondok pesantren kepada KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh bertanggung jawab pada pengelolaan madrasah, di samping juga karena KH. Abdul Wahab Hasbulloh kiprahnya lebih banyak di organisasi social kemasyarakatan. Salah satu organisasi yang didirikannya yakni Tashwirul Afkar yang berpusat di Surabaya dan pada tahun 1926 beliau bersama-sama dengan gurunya KH. M. Hasyim Asy’ari dan adik iparnya KH. Bishri Syamsuri mendirikan organisasi Nahdhotul ‘Ulama yang kiparahnya terus berkembang hingga saat ini.
2.      Era Pembaharuan Kedua
Pada tahun 1942 KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh memanggil keponakannya yang bernama KH. Abdul Fattah Hasyim (putra KH. Hayim Idris) yang saat itu masih mengabdi di pondok pesantren mertuanya KH. Bishri Syamsuri (istri beliau yakni Nyai Musyarrofah Bishri) di Denanyar, sebagi upaya regenerasi KH. Abdurroim menyerahkan estafet kepemimpinan madrah kepada KH. Abdul Fattah Hasyim.
Saat itu Jepang tengah berkuasa di Indonesia, semua madrasah ditutup tidak boleh melakukan kegiatannya, akhirnya berkat jasa KH. Abdul Fattah Hasyim besama beberapa pengasuh yang lain mengajukan banding sehingga dengan syarat-syarat tertentu kegiatan di madrasah dapat diselenggarakan kembali.
Tahun 1943 KH. Abdurrohim Hasbulloh wafat, tugas-tugas beliau sepenuhnya langsung diserahkan kepada KH. Abdul Fattah Hasyim dibantu  sahabat setianya KH. Abdul Jalil Abdurrohman (Bulak, Mojokrapak) dan madrasah pun berkembang semakin pesat. Jumlah santri yang berdatangan semakin banyak sehingga KH. Abdul Fattah Hasyim mendirikan gedung madrasah di dekat rumahnya yang oleh KH. Abdul Wahab Hasbulloh diberi nama Madrasah Ibtida’iyyah Islamiyyah (MII) yang merupakan cikal bakal Madrasag Ibtida’iyyah Bahrul ‘Ulum (MI-BU).  Sekitar tahun 1944/1945 lahir madrasah putri pertama yang diprakasai oleh Nyai Hj. Mas Wardiyyah (istri KH. Abdurrohim Hasbulloh). Di samping itu pada tahun 1951 KH. Abdul Fattaah Hasyim dengan restu KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan Pondok Pesantren Putri Al-Fathimiyyah serta pada tahun 1956 mendirikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 4 Tahun.
Bahasa yang lazim digunakan pada waktu itu adalah bahasa Jawa, tetapi di bawah pimpinan KH. Abdul Fattah Hasyim mulai digunakan bahasa Indonesia terutama setelah beliau mengikuti penataran di Jakarta, bahkan ketika bahasa Jepang juga dimasukkan pada kurikulum madrasah.
Para santri pada saat itu (setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustu 1945) merangkap tugas juga untuk berjuang melawan penjajah. Hampir setiap hari para santri mendengar dentuman meriam, pondok pun beralih fungsi menjadi markas pasukan dan para santri juga menggabungkan diri dalam Laskar Hizbulloh yang ketika itu dipanglimai oleh KH. M. Wahib Wahab (putra tertua KH. Abdul Wahab Hasbulloh).
Tahun 1956 KH. Abdul Hamid Hasbulloh wafat maka pengelolaan pondok dilanjutkan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dan pada pengelolaan madrasah sempat terjadi kekosongan, Pak Mamas dari Tulungagung penah mengisi kekosongan ini tetapi tak bertahan lama dan juga Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang padahal saat itu statusnya masih sebagai santri di Tambakberas.
Setelah KH. Ahmad Al-Fatih Abdurrohim (putra tertua KH. Abdurrohim Hasbulloh) pulang dari studinya di Yogyakarta dan Abdurrohman Wahid telah kembali ke Jakarta maka urusan madrasah akhirnya diserahkan kepada beliau, hal itu terjadi pada tahun 1961. KH. Ahmad Al-Fatih Abdurrohim membawa madrasah berkembang semakin pesat. Di antara jasanya adalah: mengadakan kajian ulang terhadap buku-buku pegangan guru, sarana madrasah yang mulai dibenahi dan pada tahun 1964 melakukan penyesuaian kurikulum sehingga Madrasah Mu’allimin Mu’allimat yang semula hanya ditempuh dalam kurun waktu 4 tahun menjadi 6 tahun dan berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas, setelah perubahan ini maka lulusan-lulusan berikutnya dapat diterima di berbagai perguruan tinggi,baik negeri maupun swasta.
Pada tahun 1965 KH. Abdul Wahab Hasbulloh memberi nama pondok ini dengan nama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Pada tahun 1969 ketika Menteri Agama RI saat itu KH. M. Dahlan berkunjung ke Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang telah disepakati bersama setelah adanya rundingan keluarga besar Bani Hasbulloh untuk menegerikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas dengan perincian :
       I.            Kelas I,II,III menjadi MTs AIN (Madrasah Tsanawiyyah Agama Islam Negeri) yang dipimpin oleh Bapak Drs. H. M. Syamsul Huda SH. M.HI (Denanyar), madrasah ini merupakan cikal bakal Madrasah Tsanawiyyah Negeri Tambakberas Jombang (MTsN Tambakberas Jombang).
    II.            Kelas IV,V,VI menjaddi MA AIN (Madrasah Aliyyah Agama Islam Negeri) yang dipimpin oleh KH. Ahmad Al Fatih Abdurrohim, madrasah ini merupakan cikal bakal Madrasah Aliyyah Negeri Tambakberas Jombang (MAN Tambakberas Jombang).
Pada tanggal 29 Desember 1971, KH. Abdul Wahab Hasbulloh selaku pengasuh utama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dan salah satu pendiri Nahdhotul ‘’Ulama berpulang ke rohmatulloh, lalu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang diteruskan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim yang dibantu oleh dzurriyyah Bani Hasbulloh yang lain dan KH. M. Wahib Wahab menjadi sesepuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Pada tahun 1974 KH. Abdul Fattah Hasyim mulai merintis Perguruan Tinggi yang diberi nama Ma’had Aly, tapi itu hanya bertahan selama 2 tahun.
3.      Era Pembaharuan Ketiga
Pada tahun 1977 KH. Abdul Fattah Hasyim wafat, setelah beliau wafat tapuk kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Dilanjutkan oleh KH. M. Najib Wahab (putra ketiga KH. Abdul Wahab Hasbulloh). KH. M. Najib Wahab mempunyai reputasi cemerlang dalam membawa Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang pada pentas nasional, beliau juga menjabat sebagai Rois Syuriyyah PBNU Pusat. Pada taun 1985 beliau bersama-sama pengasuh yang lain juga menghidupkan kembali Ma’had Aly menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyyah (STIT) dengan menunjuk Drs. H. M. Syamsul Huda, SH. M.HI sebagai ketuanya. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Robithoh Ma’ahid Islamiyyah Pusat (RMI Pusat), beliau dengan kapasitasnya tersebut mengadakan Usbu’ul Ma’ahid (Pekan Pondok Pesantren se-Jawa Timur). Dalam kepengurusan Ta’mir Masjid Jami’ PPBU KH. M. Najib Wahab mengamanatkannya kepada KH. M. Sholeh Abdul Hamid sebagai ketuanya,beliau juga mengadakan pengajian sentral setiap Senin malam Selasa. Hingga tahun 1987 ketika KH. M. Najib Wahab wafat maka sejak saat itu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang mulai menggunakaan system kepemimpinan kolektif.
Generasi V (Era Kepemimpinan Kolektif)
Seiring dengan perkmbangan zaman Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang yang dari tahun ke tahun berkembang semakin pesat, baik itu dalam segi kuantitas santrinya maupun lembaga-lembaga formal yang ada di dalamnya, maka untuk memaksimalkan potensi yang sudah ada diperlukan suatu management kepemimpinan pondok pesantren yang konstruktif, jelas, terprogram dan terarah. Berangkat dari ide dasar itulah maka kemudian lahir pemikiran untuk membagi management kepemimpinan pondok menjadi :
1.      Majelis Pengasuh, yang berfungsi sebagaai legislative yang memiliki otoritas atau pemegang kebijakan tertinggi.
2.      Pengurus Yayasan, yang berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan semua program pengembangan dan pemberdayaan pendidikan semua lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
3.      Dewan Pengawas, yang berfungsi sebagai udikatif yaitu mengawasi, memberikan pertimbangan kepada Pengurus Yayasan dan memberikan masukan kepada Majelis Pengasuh. Dibentuknya Dewan Pengawas dalam struktur management Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang yakni sejak tahun 2002 sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang RI NO. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Hingga saat ini, sejak kepemimpinan kolektif diterapkan, sudah mengalami tiga periode kepemimpinan Majelis Pengasuh :
1.      (Almaghfurlah) KH. M. Sholeh Abdul Hamid, 1987-2006
Pada masa kepemimpinan beliau, jabatan Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang telah mengalami beberapa kali pergantian yaitu KH. Ahmad Al Fatih Abdurrohim (1990-1994), Drs. KH. M. Hasib Wahab (1994-1998), Drs KH. M. Fadhlulloh Malik (1998-2002) dan KH. Ahmad Taufiqurohman Fattah (beliau menjabat selama dua periode, yakni tahun 2002-2006 dan 2006-2009).
Pada saat Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dijabat oleh KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah, kemudian dimunculka peran yudikatif (Dewan Pengawas) sebagai kosekuensi diberlakukannya Undang-Undang RI NO 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan sebagai ketuanya adalah Nyai Hj Mundjidah Wahab untuk periode 2002-2006, dan ketika periode 2006-2009 Dewan Pengawas terdiri dari KH. Fathulloh Abdul Malik, Drs. KH.. M. Faruq Zawawi,M.Ag, Nyai Hj. Salma Nashir dan Ir. Edi Labib Patriaddin.
2.      (Almaghfurlah) Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim, 2007-2008
Ketika KH. M. Sholeh Abdul Hamid wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 16 Syawal 1427 H/7 November 2006 tapuk kepemimpinan Majelis Pengasuh dipegang oleh Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim, sedangkan Ketua Umum Yayasan masih dijabat oleh KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah.  Beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Drs KH. Amanullloh Abdurrohim saat menjabat sebagai Ketua Majelis Pengasuh antara lain: diselenggarakannya Pertemuan Alumni Bahrul ‘Ulum Tingkat Nasional yang akhirnya membentuk suatu wadah ikatan alumni yang bernama Ikatan Alumni Bahrul ‘UIum (IKABU), selain untuk kembali mengharumkan nama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang di bumi nusantara beliau juga mengadakan Pertemuan ‘Ulama dan Umaro’ se-Jawa dan Madura, satu program besar lain yang dicanangkan beliau yakni pembangunan gedung serba guna yang direncanakan berfungsi sebgai balai pertemuan maupun sarana olaraga santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Namun sebelum pembangunan itu terealisir, beliau sudah diapnggil oleh Alloh Subhanallohu Ta’ala pada 13 November 2007 pada usia 65 tahun, satu tahun persis setela meninggalnya KH. M. Sholeh Abdul Hamid.
Sejak Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim wafat, jabatan Ketua Majelis Pengasuh sesuai kebijakan yang diambil semua anggota Majelis Pengasuh dikosongkan untuk sementara waktu sampai berakhirnya kepengrusan tahun 2009 nanti dan tepat pada tahun itu juga KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah wafat. Dan untuk menjalankan roda organisasi di Majelis Pengasuh sesuai dengan mekanisme dan job yang telah ditentukan maka untuk pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan lembaga pondok pesantren dipegang oleh KH. Abdul Nashir Fattah, sedangkan yang berkaitan dengan lembaga formal dan hubungan dengan lembaga di luar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dipegang oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab dan sebagai Katibnya adalah KH. M. Irfan Sholeh, S.Pd. Adapun anggota Majelis Pengasuh sebagai berikut: Nyai Hj. Musyarrofah Fattah, Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Asy’ari, Nyai Hj. Hurun ‘Ain Malik, Nyai Hj. Hafshoh Yahya, Nyai Hj. Zubaidah Nashrulloh, Nyai Hj. Muhtarroh Al-Fatih,Nyai Hj Nur Fiatin Amanulloh, KH. M. Jamaluddin Ahmad dan KH. M. Sulthon Abdul Hadi.
3.      Drs. KH. M. Hasib Wahab, 2009-2013
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang sampai dengan tahun 2012 ini telah berusia 187 tahun sedangkan madrasahnya telah berusia 97 tahun. Di usianya yang telah jauh melebihi bangsa ini Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang telah berkembang pesat dengan beragam jenis dan jenjang pendidikan. Hingga saat ini Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang memiliki 33 unit asrama pondok pesantren dan 19 unit pendidikan formal mulai pra sekolah sampai perguruan tinggi. Selanjutnya mulai tahun itu pula (2009) melalui Musyawarah Besar (MUBES) Bani Hasbulloh Sa’id yang merupakan forum tetinggi Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang disepakatilah bahwa estafet kepemimpinan (sepeninggal Almaghfurlah Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim dan Almaghfurlah KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah) melalui rundingan dan musyawaroh maka Ketua Majelis Pengasuh dijabat oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab, KH. M. Irfan Sholeh sebagai Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dan Nyai Hj. Hizbiyyah Abdurrohim sebagai Ketua Umum Yayasan Universitas Bahrul ‘Ulum (UNIBA) untuk masa khidmah 2009-2013. Adapun nama-nama anggota Majelis Pengasuh adalah: KH. Abdul Nashir Fattah (Wakil Ketua), KH. M. Fadhlulloh Malik (Wakil Ketua), KH. M. Jamaluddin Ahmad, KH. M. Sulthon Abdul Hadi, Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Wahab, Nyai Hj. Hurun ‘Ain Malik, Nyai Hj. Hafshoh Yahya, Nyai Hj. Muhtarroh Al-Fatih, Nyai Hj. Zubaidah Nashrulloh dan H M. Sholahul ‘Aam sebagai Katib.



C.       SEJARAH NAMA DAN LAMBANG PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM

Sejarah panjang pondok pesantren ini, sewak awal pendiriannya oleh Mbah Shoihah, dikenal dengan nama Pondok Telu atau Pondok Selawe. Dan pada masa Kyai Hasbulloh pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas. Hingga pada masa KH. Abdul Wahab Hasbulloh pada tahun 1965 empat orang santri beliau dipanggil menghadap (sowan), keempat santri beliau tersebut adalah Ahmad Junaidi (Bangil), M. Masrur Dimyati (Dawar Blandong Mojokerto), Abdulloh Yazid Sulaiman (Keboan Ngusikan Jombang dan M. Syamsul Huda As. (Denanyar Jombang). Waktu itu yang menjabat sebagai sekretaris pondok adalah Ahmad Taufiq dari Pulo Gedang. Keempat santri beliau ini megajukan tiga nama alternative nama pondok pesantren yaitu : Bahrul ‘Ulum, Darul Hikmah dan Mamba’ul ‘Ulum.
Dari ketiga nama yang diajukan, KH. Abdul Wahab Hasbulloh memilih nama Bahrul ‘Ulum yang artinya Samudera Ilmu yang kelak diharapkan Tambakberas benar-benar menjadi samudera ilmu. Setelah itu beliau mengadakan sayembara pembuatan lambang pondok pesantren. Setelah didapatkan pemenang, KH. Abdul Wahab Hasbulloh meminta pada lambang pondok pesantren tersebut disisipkan ayat Al-Qur’an yakni Surat Al-Kahfi 109, bahkan untuk proses ritualnya KH. Abdul Wahab Hasbulloh memerintahkan salah seorang santri yang bernama M. Djamaluddin Ahmad (Pengasuh Bumi Damai Al-Muhibbin sekarang) asal Gondang Legi Nganjuk untuk membacakan Manaqib. Hingga saat ini nama dan lambang tersebut abadi menjadi identitas resmi, Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

Setia Band (My Favourite Band)

ST12 adalah grup musik beraliran musik Melayu. ST12 didirikan di Bandung oleh Ilham Febry alias Pepep (drum), Dedy Sudrajat alias Pepeng (gitar), Muhammad Charly van Houten alias Charly (vokal), dan Iman Rush (gitar).

Awalnya, keempat personel ini tak saling kenal, meski mereka telah lama berkecimpung di dunia musik. Mereka mulai akrab setelah sering bertemu di studio rental di Jalan Stasiun Timur 12, Bandung, milik Pepep. Mereka pun akhirnya resmi mendirikan ST12 pada tanggal 20 Januari 2005. Nama ST12 yang merupakan kependekan dari Jl. Stasiun Timur No. 12 adalah nama pemberian ayah Pepep, Helmi Aziz.

Meski keempat personel ini memiliki aliran musik favorit yang berbeda, Charly menggemari jazz, Pepep suka jazz dan rock, sementara Pepeng tumbuh bersama musik rock, namun mereka kompromi untuk membuat ST12 beraliran melayu.

ST12 terpaksa merilis album perdana mereka melalui jalur independent (indie) karena tak ada label yang mau menampung mereka. Sayang, pada bulan Oktober 2005, saat tur promosi album di Semarang, Iman Rush meninggal akibat pecah pembuluh darah di otak.

Trinity Optima Production mulai melirik ST12 setelah album perdana, JALAN TERBAIK (2005), meraih sukses. Album kedua, P.U.S.P.A (2008) yang didedikasikan untuk Iman, dirilis di bawah label Trinity.


Charly (vokal) merupakan grup band asal Bandung yang meroket pamornya lewat hits Aku Masih Sayang, di album kedua ini mereka tidak hanya sekadar mempertahankan konsep bermusik pop bercorak Melayu yang terasa easy listening.

”Tetapi dari 12 lagu yang ada di album kedua, kita mencampurkan beberapa aliran musik, seperti disko, reggae dan akustik,” kata Pepep, drummer sekaligus pemrakarsa terbentuknya ST 12, saat berbincang dengan Republika di Jakarta, Senin (12/5)......

Meski menyisipkan corak ‘asing’, Pepep menegaskan bukan berarti mereka meninggalkan identitas musikal ST 12 yang dikenal sebagai pengusung musik pop-Melayu. ”Kita hanya ingin mengambil segmentasi pendengar yang lebih luas,” kata musisi ini menerangkan seputar penyisipan musik disko dan reggae di album kedua ST 12.

”Harus kita sadari bahwa orang punya cara dan selera yang berbeda dalam menikmati musik. Ada yang butuh musik menghentak, mellow, atau minimalis ornamen yang mengedepankan harmonisasi. Semua itu yang kita suguhkan di album kedua ini,” kata Pepep menjelaskan kembali.

Sementara Charly van Houtten, vokalis ST 12, menambahkan bahwa warna musik disko dan reggae yang hadir d album kedua masih tetap mengedepankan identitas musikalisasi grup musik ini.

”Tetap ada unsur Melayunya,” kata pria yang memiliki cengkok vokal Melayu ini.

Charly mengungkapkan lagu yang dihadirkan dalam versi disko berjudul Cinta Jangan Dinanti-nanti. Selanjutnya tembang bertajuk Saat Kau Jauh (S.K.J) dikemas secara reggae. Selain kedua lagu tadi, masih ada dua lagu lagi yang dihadirkan dalam konsep baru ST 12. Kedua lagu tersebut berjudul saat terakhir dan Cinta Tidak Direstui. ”Keduanya kita hadirkan dalam konsep slow akustik. Artinya kita tidak hanya menghadirkan permainan akustik itu sebagai pembukanya saja, tetapi disajikan secara full akustik.”

Single andalan untuk album kedua ST 12 justru menempatkan single berjudul Puspa sebagai lagu andalannya. Puspa ini merupakan kependekan dari Putuskan Saja Pacarmu. Tembang ini, kata Pepep, masih tetap ST 12 banget. ”Musikalisasinya masih tetap warna musik ST 12 asli dan masih terus dipertahankan. Saat orang mendengar lagu ini, maka mereka akan bisa mengenali bahwa ini adalah ST 12.”


Sebagai lagu andalan, Trinity Optima Production selaku label recording tempat ST 12 bernaung, secara khusus langsung membuatkan video klip untuk single Puspa. Dalam videoklip ini dihadirkan aktris Luna Maya sebagai modelnya.

Charly menceritakan peran Luna dalam video klip Puspa ini sebagai perempuan yang sudah memiliki kekasih. ”Tetapi saya menyuruh dia agar memutuskan pacarnya, lalu saya meminta kepada dia untuk bilang I Love You kepada saya,” kata pria ini sambil tersipu malu saat menceritakan konsep dari video klip Puspa ini.

Sementara, Luna Maya, yang duduk di dekat ketiga personel ST 12, menjelaskan tentang perannya di video klip terbaru ST 12. ”Ini kan tuntutan profesionalisme kerja saja,” katanya singkat.

Untuk video klip Puspa ini, ST 12 dan Trinity memberikan kepercayaannya kepada sutradara Guntur. Clippers muda ini sebelumnya pernah menggarap video klip ST 12 yang berjudul Rasa yang Tertinggal. Sementara itu debut album ST 12 yang dilansir tiga tahun silam berjudul Aku Tak Sanggup Lagi menorehkan prestasi penjualan lebih dari 300 ribu keping.

Berkat penjualan tersebut, pihak Trinity memberikan penghargaan double platinum kepada grup yang menyingkat ST 12 dari nama lokasi di kawasan Bandung, yakni Stasiun Timur Nomor 12.

Walau kehilangan seorang personel, ST12 mampu bertahan dan mendulang sukses di album perdananya. Ciri khas ST 12 yang membawakan lagu melayu memang terasa mantap dibawakan Charly, sang vokalis, memang menjadikan ST12 band yang berkarakter.

album kedua ST12 ini banyak disukai oleh masyarakat indonesia. Kuping orang Indonesia mudah menyerap lagu-lagu dari ST12. Terbukti dalam waktu tiga bulan saja band ini berhasil menggondol Double Platinum. Selain copy albumnya menembus angka penjualan 150 ribu, RBT-nya pun diunduh sebanyak 1 juta. Kenang Iman Rush.

JAKARTA INDONESIA, KESETIAKAWANAN menjadi pedoman yang dipegang teguh oleh kelompok musik pop asal Bandung, ST12, ini dibuktikannya (Jumat, 4 Juli 2008), di Jakarta. Lewat acara launching album terbaru mereka bertajuk “PUSPA”, ST12 mencurahkan perasaannya kepada penonton tentang mendiang kawannya yang telah meninggal dunia, Iman Rush.

ST12 adalah grup band yang memiliki formasi awal dengan empat personel; Charly (vokal), Pepep (dram) dan Pepeng (gitar),dan Iman Rush (gitaris). Setelah ditinggal Iman Rush, ST12 tetap eksis berkarya dengan dukungan beberapa personal tambahan (additional player).

Dalam album teranyarnya, ST12 mengandalkan tembang “PUSPA” dan “Saat Terakhir” untuk meraih hits diblantika musik Indonesia. Diakui Charly, lagu “Saat Terakhir” merupakan persembahan ST12 untuk kawan mereka yang telah meninggal, Iman Rush.
Dalam konser sekaligus launching semalam, tak bisa dipungkiri, personel ST12 larut dalam kesedihan. Pemicunya adalah lagu “Saat Terakhir” yang membuat sang Vokalis meneteskan air mata.

Sebenarnya lagu “Puspa” bukan lagu dengan intonasi lambat dan mendayu-dayu, seperti kebanyakan lagu sedih. Lagu Puspa yang dibawakan sempurna oleh ST12 memiliki irama riang ala chacha. Liriknya pun jenaka. Simak saja syairnya; “Jangan jangan kau menolak cintaku, jangan-jangan kau tak trima cintaku. Putuskanlah saja pacarmu, lalu bilang I Love You padaku,” begitu penggalan lirik bagian reffrain lagu itu.

Bagi seluruh personel ST12, Iman Rush adalah sosok yang baik dan setia kawan. “Iman adalah pedoman hidup dan inspirator kami,” ujar Pepep.





Sejarah SETIA BAND :

Setelah itu Pada Awal Tahun 2012 Charly dan Pepeng Resmi Mundur dari ST12 dan membentuk Band baru yang diberi nama SETIA BAND.

SETIA BAND merupakan wadah bagi Charly dan Pepeng untuk comeback berkarya di dunia musik Indonesia, setelah tidak lagi dengan ST12.

Biografi

SETIA Band adalah grup band Indonesia yang didirikan di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2011. Namun secara resmi berdiri pada tanggal 16 Februari 2012. Grup ini didirikan oleh Charly Van Houttens pada (Vocal), dan Dedy Sudrajat alias Pepeng (Gitar).

Charly Van Houttens dan Dedy Sudrajat atau yang biasa di kenal dengan sebutan Pepeng merupakan pentolan dari grup Musik beraliran Melayu yaitu ST12. Grup musik yang melejit melalui tembang-tembangnya seperti "PUSPA", " jangan Pernah Berubah" dan "Saat Terakhir" ini memutuskan untuk keluar dari Band yang telah membesarkan nama mereka di belantika musik Indonesia.

Di awal tahun 2012 mereka kembali membentuk sebuah Grup band yang di beri nama SETIA Band. Hanya dengan beranggotakan 2 orang, yaitu Charly Van Houttens pada vocal dan Dedy Sudrajat pada guitar, akan tetap menyajikan lagu-lagu terbaik mereka. Adapun hit single di album perdana SETIA Band adalah "Jangah Ngarep".

Keterangan Charly dan Pepeng mengusung formasi baru dengan memberi nama band baru mereka SETIA BAND dan masih di bawah naungan Trinity Optima Production.

Nama SETIA di ambil dari kata SETIAKU (sebutan fans club Charly dan Pepeng saat masih tergabung di band sebelumnya : ST12). Dengan adanya additional Drummer Alsa, kini SETIA BAND tampil lebih fresh dan fun tanpa meninggalkan karakternya sebagai band pop-melayu. Selain itu, SETIA BAND mempunyai konsep selalu memasukkan unsur budaya Indonesia di setiap penampilan mereka : tarian daerah, alat-alat musik daerah, kostum, dll. Di kota dan daerah manapun SETIA BAND tampil, pasti akan selalu membawa unsur budaya daerah tersebut ke atas panggung bersama mereka.

Judul album perdana SETIA BAND diambil dari motto mereka "SATU HATI". Masih dengan nuansa pop melayu, SETIA BAND hadir dengan materi lagu yang lebih berwarna. Tanpa ada kata-kata dan kalimat kiasan, lagu-lagu SETIA BAND di album SATU HATI secara tegas dan sederhana mengungkapkan maknanya. "Untuk menyatukan hati kita semua, satu dalam kasih sayang, selalu menebarkan cinta kepada sesama, rasa saling menghormati dan toleransi. Insya Allah pesan Satu Hati ini dapat membawa keindahan hidup bila kita semua berusaha mewujudkannya".